Feeds:
Pos
Komentar

MERAMAL MASA DEPAN ANAK DENGAN TES “MARSHMALLOW”

oleh : Bunda Nurul Khotimah
Berikut adalah hasil penelitian yang dilakukan Walter Mischel untuk mengukur tingkat kontrol diri anak dan pengaruhnya terhadap keberhasilannya di masa depan.
Di akhir tahun 1960an, Walter Mischel, seorang profesor ilmu psikologi di Stanford University melakukan sebuah percobaan sederhana yang kemudian menjadi buah bibir di dunia psikologi. Awalnya, dia hanya ingin menyelidiki proses mental yang membuat sebagian orang mampu mengontrol diri mereka, sementara lainnya menyerah dengan cepat. Anak-anak yang ikut dalam eksperimennya diundang untuk masuk satu per satu ke sebuah ruangan di Bing Nursery School, yang terletak di kampus Stanford University. Ruangan tersebut tidak terlalu besar, dan hanya terdapat sebuah meja dan kursi di dalamnya. Di atas meja tersebut terdapat berbagai makanan kesukaan anak kecil: kembang gula marshmallow, biskuit, dan pretzel.
Anak yang masuk kemudian akan diminta untuk duduk dan dipersilakan memilih salah satu dari makanan-makanan kecil tersebut. Seorang periset kemudian mengajukan tawaran: Anak tersebut boleh langsung mengambil pilihan mereka; atau jika mereka mau menunggu periset tersebut yang akan keluar selama beberapa menit, anak tersebut boleh mendapatkan dua jenis makanan kesukaan mereka. Bila mereka tidak sabar menunggu dan ingin segera menikmati makanan kecil tersebut, mereka boleh membunyikan lonceng yang ditaruh di atas meja, dan periset tersebut akan langsung masuk untuk memberikan anak satu jenis jajanan saja. Setelah anak-anak tersebut mengerti, periset tersebut kemudian meninggalkan ruangan sekitar lima belas menit.
Eksperimen tersebut dilakukan selama beberapa tahun. Dalam upaya menahan godaan mereka untuk mendapatkan tawaran yang nilainya dua kali lebih banyak, sebagian anak-anak menutup mata mereka, bersembunyi di kolong meja, atau melihat ke arah lain. Yang lainnya menendang-nendang meja, atau bermain-main dengan rambut mereka. Salah seorang anak terlihat melirik sekeliling ruangan untuk memastikan tidak ada orang yang melihat. Kemudian dia mengambil sebuah Oreo, membuka bagian tengahnya, menjilati krim putihnya, dan kemudian dengan mengembalikan biskuit tersebut ke tempat semua — dengan wajah penuh kemenangan. Dan tentu saja, beberapa anak menyerah dan tanpa membunyikan lonceng, langsung menyantap makanan kesukaan mereka.
Setelah menerbitkan beberapa makalah dari percobaan di atas, Mischel berpindah ke penelitian-penelitian lain. Eksperimen yang melibatkan anak-anak yang berjuang melawan nafsu mereka memang cukup menarik, tetapi Mischel tidak merasa percobaan tersebut bisa melambungkan namanya. Masih banyak penelitian lain yang kelihatannya lebih menarik dan berbobot.
Sesekali ketika Mischel berbincang-bincang dengan tiga orang anak perempuannya yang juga pernah bersekolah di Bing, dia menanyakan kabar teman-teman sekelas mereka. Bagaimana kabar Jane? Bagaimana kabar Eric? Dari jawaban-jawaban para putrinya, Mischel mulai menyadari adanya hubungan antara prestasi akademik teman-teman anaknya setelah remaja dengan kemampuan mereka menahan diri selama eksperimen di atas. Dia meminta putri-putrinya memberikan skala 0-5 untuk menilai prestasi akademik teman-teman mereka, dan hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan data pada percobaan tersebut. Begitu dia menemukan adanya korelasi yang menarik antara kemampuan kontrol diri dan prestasi akademik anak-anak tersebut, dia segera memutuskan kembali meneliti data-data percobaan tersebut dengan serius.
Di tahun 1981, ketika anak-anak tersebut sudah masuk usia sekolah menengah, Mischel mengirimkan kuisioner kepada para orang tua dan guru dari 653 anak-anak yang pernah mengikuti eksperimen di Bing tersebut. Kuisioner tersebut memuat pertanyaan-pertanyaan tentang semua perilaku yang bisa dipikirkannya, dari kemampuan mereka membuat rencana, atau berpikir ke depan, kemampuan mengatasi masalah atau konflik, atau kemampuan antar personal mereka. Dia juga meminta hasil ujian SAT mereka (SAT adalah ujian standar di Amerika untuk masuk ke perguruan tinggi).
Ketika data-data masuk dan Mischel mulai menganalisis hasilnya, dia menemukan anak-anak yang tidak sabar, yang tidak bisa menahan diri mereka dalam percobaan tersebut, lebih mungkin menghadapi masalah tingkah laku, baik di sekolah atau pun di rumah. Mereka juga mendapatkan nilai ujian yang lebih rendah, sulit berkonsentrasi dan memiliki lebih sedikit teman. Mereka yang bisa bertahan selama 15 menit dalam ruangan tersebut tanpa menyentuh makanan kesukaan mereka, secara rata-rata berhasil meraih nilai SAT 210 poin lebih tinggi dari mereka yang hanya bertahan 30 detik. Ketika mereka berusia 30 tahun, anak-anak yang dulunya tidak bisa mengontrol diri mereka memiliki berat badan yang lebih tinggi, dan lebih mungkin terlibat dalam obat bius.
Mengapa kontrol diri sangat penting? Selama berpuluh-puluh tahun, para psikolog dan masyarakat umum percaya bahwa kecerdasan adalah faktor utama untuk menentukan sukses di kemudian hari. Tetapi seperti yang kita baca di buku Ketika Mozart Kecil Memainkan Jemarinya, hal tersebut tidak benar. Kecerdasan tanpa pengetahuan mendalam di satu bidang tidaklah berguna, dan untuk mendapatkan pengetahuan tersebut dibutuhkan kerja keras. Mischel juga berpendapat demikian. Anak dengan IQ setinggi langit pun harus mengerjakan pekerjaan rumah mereka, dan kontrol diri memungkinkan mereka berfokus melakukan hal yang harus dilakukan, meski mereka tidak menyukainya.
Menurut Mischel, apa yang penting dari eksperimen tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama ujian marshmallow, bukanlah cuma tentang kontrol diri atau kekuatan keinginan, tetapi tentang bagaimana mereka mencari cara agar tujuan mereka tercapai dalam situasi yang menantang. Pada dasarnya, semua orang menginginkan “marshmallow” kedua, ketiga, dan seterusnya. Yang menjadi pertanyaan: Bagaimana cara mendapatkannya? Kita tidak bisa mengontrol lingkungan kita, tetapi kita bisa mengontrol tanggapan kita tentang situasi yang sedang kita hadapi tersebut. Kemampuan mengontrol diri kita sendiri tersebut, pada akhirnya yang akan menentukan ke arah mana hidup kita akan menuju.
Menurut Mischel, itulah sebabnya ujian sederhana tersebut mampu meramalkan dengan baik keberhasilan anak-anak tersebut berpuluh tahun kemudian. Ujian tersebut adalah tentang kemampuan mengatasi emosi sesaat. Jika Anda bisa menghindari godaan sesaat tersebut, Anda bisa berfokus pada tujuan jangka panjang yang lebih penting seperti belajar, berlatih, atau menabung untuk masa depan. Meski eksperimen Mischel ini tidak ditujukan untuk menjelaskan pencapaian keahlian individu, bisa dipastikan kemampuan kontrol diri tersebut jelas dibutuhkan untuk menjalani deliberate practice dan pembelajaran yang benar selama belasan tahun.
Lalu bagaimana kemampuan kontrol diri tersebut diperoleh? Studi Mischel dan rekan-rekannya yang berikutnya menemukan perbedaan kemampuan kontrol diri tersebut sudah muncul sejak anak-anak belajar berjalan, sekitar satu setengah tahun. Anda yang masih percaya bahwa faktor keturunan adalah faktor utama dalam pencapaian sukses dan keahlian akan segera bersorak. Nah, akhirnya terbukti juga keturunan adalah faktor yang paling penting. Namun, tunggu dulu. Jangan bersorak gembira dulu karena Mischel tidak setuju dengan Anda. Lingkungan lebih mungkin menjelaskan perbedaan tersebut. Ketika Mischel melakukan eksperimen di keluarga miskin dengan keluarga kaya, dia menemukan anak-anak dari kalangan berada memiliki kontrol diri yang lebih tinggi. Mengingat tidak ada gen yang berkaitan dengan kekayaan, maka penjelasan yang lebih masuk akal adalah kontrol diri merupakan hasil dari pendidikan di rumah. Orang tua yang miskin tidak memiliki waktu untuk melatih anak-anak mereka menunda kesenangan karena sibuk dengan urusan perut yang lebih mendesak. Kontrol diri adalah hasil dari latihan yang diberikan orang tua sejak sedini mungkin.
Untuk membuktikan hal tersebut, Mischel dan rekan-rekannya mengajari anak-anak untuk menganggap gula-gula marshmallow sebagai awan. Melalui latihan tersebut, kontrol diri anak-anak tersebut meningkat naik. Tentu saja agar kemampuan mengalihkan perhatian tersebut menjadi kebiasaan, hal tersebut perlu diulang dan dilatih.
Bagaimanakah dengan kontrol diri Anda, atau anak-anak Anda?

Marshmallow dan anak

TINGKAT kesadaran masyarakat untuk memberikan pendidikan pada anak usia dini sudah semakin membaik. Hal itu sejalan dengan gerakan pendidikan anak usia dini (PAUD) yang digalakkan pemerintah. Hanya kesadaran tersebut belum diimbangi dengan ketersediaan lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) yang memenuhi syarat.

Ketua Himpunan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Jabar, Anna Anggraeni mengatakan, hal itu terjadi karena adanya persepsi dan cara pandang yang salah dari masyarakat. Mencampuradukkan pendidikan dengan nilai bisnis. Menganggap PAUD menjadi lahan peluang untuk mencari uang.

 

Yang paling fatal, bila latar belakang pendidik tidak memahami kurikulum tumbuh kembang anak, keunikan anak dan perkembangan inovasi model pembelajaran. Padahal, PAUD merupakan fasilitator yang menjembatani keunikan setiap anak. Anak dalam satu kesempatan bisa mendapat multikecerdasan.

Menyadari segala keterbatasan tersebut, Himpaudi selaku organisasi profesi yang beranggotan pendidik dan tenaga kependidikan PAUD sudah membentuk pengurus mulai dari tingkat wilayah, kab./kota, dan ranting beberapa kecamatan yang satu sama lain saling berhubungan secara sinergis.

Hal itu bertujuan untuk peningkatan mutu pendidik dan saling melengkapi. Sesuai visi Himpaudi tahun 2015 menjadikan pendidik yang profesional, tangguh, berakhlak mulia, dan disyaratkan berlatar belakang S-1.

Sementara untuk percepatan sosialisasi dan peningkatan mutu pendidik, Himpaudi mengadakan pelatihan “Beyond Center and Circle Times” (BCCT).

“Respons di daerah sangat mengharukan. Mereka sangat haus ilmu dan pembelajaran. Sungguh, percepatan pelayanan yang kita berikan harus kita jaga bersama untuk kualitas pendidik tutor di lapangan,” ujar Anna.

Pelatihan swadaya dan yang terakhir kami lakukan tanggal 5-6 Juli 2008 di PAUD terbuka Bina Insani. Pada kesempatan itu, para pengurus melakukan temu pimpinan daerah dengan inovasi kemasan kegiatan. “Bukan hanya sharing, caracter building, tetapi juga pemberian materi pendidik PAUD dari Jakarta,” ujarnya. Peserta juga memeroleh materi-materi tentang penanaman budi luhur oleh pembina Bina Insani. “Semua itu diupayakan untuk mengupas sentuhan hati kiprah dan tugas profesi pendidik PAUD,” imbuhnya.

Selain itu, Himpaudi berupaya keras melalui semua komponen untuk menjaga kesinambungan PAUD nonformal dan PAUD informal, antara lain para tutor, keluarga, ibu dan bapak pengasuh, serta anggota keluarga lainnya termasuk nenek, kakek, agar kesinambungan pendidikan dengan kemasan iman dan takwa tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di rumah dan di lingkungan anak tersebut berada.

“Memang masih perlu adanya sosialisasi dan kesadaran semua pihak. Apalagi anak peniru ulung dan sangat membutuhkan rasa aman dan nyaman serta keteladanan dari sekitarnya,” ujar Anna.

Menjawab tentang dampak negatif bila lembaga PAUD tidak sesuai dengan yang disyaratkan, Anna mengatakan, akan terjadi dampak permanen, mengingat usia anak PAUD memiliki kecerdasan optimal yang dapat menyerap apa pun yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu, semua metode yang terangkum dalam BCCT menjadi semacam “obat generik”.

Panduan kegiatan PAUD ini disesuaikan dengan tumbuh kembang dan dikemas dalam suasana bermain sambil belajar. Tidak lagi dengan sistem klasikal. Pendekatan lingkaran dan sentra ini didesain untuk memenuhi identitas anak bermain, mampu melahirkan minat yang pada akhirnya menumbuhkan minat pada keaksaraan. Jadi bukan dengan cara calistung.

“Jadi, tuntutan orang tua yang merasa bangga dan menuntut anak usia dini mahir calistung bukan lagi cara pandang tepat. Selain belum waktunya, juga melanggar hak anak bermain. Efeknya, akan menimbulkan kejenuhan dini pada anak. Biasanya terlihat pada usia anak kelas 4 SD dan seterusnya,” tutur Anna.

Perihal syarat sebuah lembaga PAUD yang ideal, Anna menyebutkan niat sebagai landasan awal. Sementara pengelolanya bisa PAUD nonformal, TPA, kelompok bermain, SPS yang didirikan oleh organisasi kemasyarakatan dan berbadan hukum. Dapat pula oleh orsos dan organisasi wanita yang memiliki susunan pengurus, pendidik yang berlatar belakang yang disyaratkan, rencana tahunan, semester, bulanan, dan harian.

Berdasarkan UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Ini agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Hal ini diungkapkan Dr H Imron Arifin M Pd saat diundang sebagai nara sumber dalam Pelatihan Manajemen dan Pembelajaran TK bagi Guru TK Binaan Dharma Wanita Persatuan se Kabupaten Kutai Barat yang diselenggarakan Darma Wanita Persatuan Kabupaten Kutai Barat, 19-20 Januari 2009 lalu, di Aula TK Pembina, Melak, Kecamatan Melak.

Imron Arifin yang juga ketua Yayasan Pendidikan Anak Saleh Malang dan Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Malang, menerangkan dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat, dan melalui jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Lalu PAUD berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan lingkungan.

Manajemen program PAUD yaitu manajemen pendirian PAUD (membuka lembaga PAUD baru dan manajemen perbaikan/pembenahan PAUD (improvisasi manajemen PAUD yang sudah jalan). Persyaratan minimal manajemen PAUD yaitu ada peserta didik usia dini (0- 6 tahun), ada penyelenggara berbadan hukum, ada pengelola PAUD (TPA, KB, BKB, TK, dll), ada pendidik dan tenaga kependidikan PAUD. Juga, tersedia sarana dan prasarana pendidikan, memiliki menu generik (kurikulum), memiliki program kegiatan belajar-bermain dan mengajar (PKBM), dan tersedia sumber dana untuk pelaksanaan atau operasional pendidikan.

Ditambahkan, dalam manajemen PAUD mempunyai orientasi layanan berupa layanan kesehatan dan gizi (pertumbuhan, layanan kecerdasan dan psikologis, layanan sosial dan sikap (Emosional), layanan keagamaan dan spiritualisasi. Hal ini bertujuan agar anak usia dini yang terdidik dapat memiliki pengalaman belajar, otak berkembang optimal, pertumbuhan fisik sehat, perkembangan, psikososial positif, dan bertumbuh sesuai dunia anak.

Selain itu Imron Arifin mengungkapkan, mengenai substansi pengelolaan program PAUD yang meliputi manajemen personalia atau SDM, kurikulum (menu) kegiatan bermain dan belajar kemudian manajemen peserta didik, manajemen keuangan lembaga, dan manajemen humas serta manajemen sarana- prasarana.

Dalam hal ini Imron Arifin pun menegaskan bahwa di dalam manajemen keuangan lembaga harus jelas yaitu pembukuan keuangan yang akuntable, pembukuan sumbangan-sumbangan, pelaporannya dan pertanggungjawaban, pelaporan keuangan dana bantuan dari pemerintah dan instansi terkait. Selain itu pun juga harus memiliki manajemen pendukung keuangan yang juga mempunyai pembukuan usaha-usaha ekonomi PAUD, dan pembukuan khusus dana-dana keagamaan, serta pembukuan keuangan POMG.

Pendidikan anak usia dini (PAUD) yang baik dan tepat dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depan, begitulah pesan yang disampaikan Profesor Sandralyn Byrnes, Australia’s & International Teacher of the Year saat seminar kecil di acara Giggle Playgroup Day 2011, gelaran Miniapolis & Giggle Management, Jumat, 11 Februari 2011 lalu.

Menurut Byrnes, PAUD akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat adalah menghadapi masa sekolah. “Saat ini, beberapa taman kanak-kanak sudah meminta anak murid yang mau mendaftar di sana sudah bisa membaca dan berhitung. Di masa TK pun sudah mulai diajarkan kemampuan bersosialisasi dan problem solving. Karena kemampuan-kemampuan itu sudah bisa dibentuk sejak usia dini,” jelas Byrnes.

Di lembaga pendidikan anak usia dini, anak-anak sudah diajarkan dasar-dasar cara belajar. “Tentunya di usia dini, mereka akan belajar pondasi-pondasinya. Mereka diajarkan dengan cara yang mereka ketahui, yakni lewat bermain. Tetapi bukan sekadar bermain, tetapi bermain yang diarahkan. Lewat bermain yang diarahkan, mereka bisa belajar banyak; cara bersosialisasi, problem solving, negosiasi, manajemen waktu, resolusi konflik, berada dalam grup besar/kecil, kewajiban sosial, serta 1-3 bahasa.”

Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. “Tentunya cara bermain pun tidak bisa asal, harus yang diarahkan dan ini butuh tenaga yang memiliki kemampuan dan cara mengajarkan yang tepat. Kelas harusnya berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran. Bukan menjadi ajang tarik-ulur kekuatan antara murid-guru. Seharusnya terbangun sikap anak yang semangat untuk belajar,” jelas Byrnes.

Contoh, bermain peran sebagai pemadam kebakaran, anak tidak akan mendapat apa-apa jika ia hanya disuruh mengenakan busana dan berlarian membawa selang. Tetapi, guru yang mengerti harus bisa mengajak anak menggunakan otaknya saat si anak berperan sebagai pemadam kebakaran, “Apa yang digunakan oleh pemadam kebakaran, Nak? Bagaimana suara truk pemadam kebakaran yang benar? Apa yang dilakukan pemadam kebakaran? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan ditanyakan untuk memancing daya pikir si anak,” contoh Byrnes.

Selama 7 tahun meneliti pendidikan anak usia dini di Indonesia, Byrnes juga menemukan sebagian orangtua memiliki konsep bahwa anak-anak di usia itu sudah bisa berpikir. “Anak-anak usia dini belum bisa berpikir dengan sempurna seperti orang dewasa. Anak-anak usia tersebut harus dipandu cara berpikir secara besar, cara mencerna, dan berdaya nalar. Sayangnya, beberapa lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia belum mengajarkan mengenai multiple intelligences. Ini kembali ke perkembangan latar belakang ahli didiknya,” ungkap Byrnes.

Apa perbedaan anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan usia dini berkualitas dengan anak-anak yang tidak belajar? “Di lembaga pendidikan anak usia dini yang bagus, anak-anak akan belajar menjadi pribadi yang mandiri, kuat bersosialisasi, percaya diri, punya rasa ingin tahu yang besar, bisa mengambil ide, mengembangkan ide, pergi ke sekolah lain dan siap belajar, cepat beradaptasi, dan semangat untuk belajar. Sementara, anak yang tidak mendapat pendidikan cukup di usia dini, akan lamban menerima sesuatu,” terang Byrnes yang pernah mendapat gelar Woman of the Year dari Vitasoy di Australia. “Anak yang tidak mendapat pendidikan usia dini yang tepat, akan seperti mobil yang tidak bensinnya tiris. Anak-anak yang berpendidikan usia dini tepat memiliki bensin penuh, mesinnya akan langsung jalan begitu ia ada di tempat baru. Sementara anak yang tidak berpendidikan usia dini akan kesulitan memulai mesinnya, jadi lamban. Menurut saya, pendidikan anak sudah bisa dimulai sejak ia 18 bulan,” tutup Byrnes.

Liburan tanggal 22 April 2011 saya pulang kampung mengunjungi orangtua dan keluarga. Kakak saya yang tinggal di kampung dengan bangga bercerita bahwa cucunya baru tes masuk SD dan diterima. Tesnya antara lain berupa membaca dan menulis serta membuka komputer. SD yang dimasuki adalah SD swasta favorit yang lokasinya di kota dan konon siswanya dari berbagai kecamatan.  

Apakah tes masuk SD hanya terjadi SD itu? Ternyata tidak. Kata kakak saya dan saudara yang ikut ngobrol saat itu ternyata hampir semua SD menerapkan tes masuk. Bahkan di SD negeri di kampung sayapun juga menerapkan tes masuk. Apa sih isi tesnya? Biasanya baca tulis. Jadi calon anak sudah harus bisa membaca dan menulis saat akan masuk SD. 

Saya sungguh risau dengan fenomena itu. Memang saya sudah lama mendengar adanya tes masuk SD. Ketika menjadi kepasa SD Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS) pada tahun 2000-2003 kami juga menggunakan tes masuk SD. Waktu itu tesnya tentang kematangan psikologis, artinya apakah anak memang secara psikologis sudah siap masuk SD. Maklum saat itu orangtua getol memasukkan anaknya ke SAIMS, bahkan saat anaknya belum genap usia 6 tahun. Oleh karena itu ketika mendengar tesnya baca tulis, apalagi membuka komputer saya sungguh kaget dam kemudian risai. Bukan risau anaknya lulus atau tidak lulus, toh masih ada SD lain yang mau menerimanya. Yang saya risaukan adalah dampaknya pada pendidikan di TK. Saya khawatir, adanya tes baca tulis tersebut kemudian mendorong TK memaksa anak-anak belajar membaca dan menulis.

Bahwa membaca itu penting, tentu kita setuju. Bahwa menulis itu penting kita juga setuju, pertanyaannya apakah anak TK sudah harus belajar membaca-menulis. Dan apakah itu merupakan syarat “kelulusan” TK dan kemudian diteskan saat masuk SD. Bukan di usia TK, pembelajaran sebaiknya diarahkan untuk pengembangan diri, bersosialisasi dan menmbuhkan kreativitas? Anak TK justru lebih penting anak-anak TK didorong mengenal dirinya, lingkungannya, mengembangkan cita-cita dan sebagainya. Intinya mengembangkan kecakapan hidup yang sesuai dengan usianya.

Mengenal orang-orang besar, orang-orang sukses, orang-orang baik, sangat penting bagi anak-anak usia TK, sebagai awal mengembangkan cita-cita. Biasanya dengan mengenal orang-orang “besar” tersebut, anak mulai mencari identifikasi diri untuk membangun cita-cita. Cita-cita seperi itu, walaupun sangat mungkin pada saatnay berubah, tetap sangat penting. Apalagi jika kemudian anak-anak mulai belajar (sesuai dengan usianya) bagaimana perjalanan hidup tokoh yang diidamkan.

Perlu difahami bahwa menulis dengan huruf-huruf merupakan sesuatu yang baku. Oleh karena itu belajar menulis bagi anak kecil (bukan mengarang) tidak banyak memberikan ruang untuk berimajinasi. Lain dengan mengambar (yang betul caranya), anak berkesempatan menuangkan apa yang ada di pikirannya. Bahkan mendorong anak untuk berimajinasi. Saya khawatir, orang berpandangan belajar menulis analog dengan belajar mengarang. Mengarang memang merupakan wahana mengembangkan imajinasi, tetapi belajar menulis (melukis huruf yang memiliki standar baku) tidak sama. Sekali lagi belajar menulis dalam pengertian melukis huruf dengan standar-standar baku justru tidak sejalan dengan mengarang. Yang sejalan dengan mengarang untuk mengembangkan imajisasi dan kreativitas untuk anak usia TK adala menggambar dan bercerita.

Uraian di atas, bukan berarti anak usia TK dilarang belajar membaca dan menulis. Tentu itu bagus, tetapi jika itu merupakan keinginan anaknya sendiri dan bukan secara sistimatis guru memaksa dan apalagi itu masuk dalam kurikulum. Saya takut jangan-jangan rendahnya kreativitas anak-anak kita salah satunya disebabkan oleh fenomena tes baca-tulis ketika masuk SD. Semoga hal itu menjadi perhatian bagi semua pihak yang peduli kepada pendidikan, khususnya anak usia dini.

(muchlas-universitas negeri surabaya) 

Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya untuk senang dan gemar membaca agar ia memiliki wawasan dan informasi yang luas. Tapi bagaimana membuat si kecil agar senang membaca?

“Sejak usia 6 bulan anak sudah bisa diperkenalkan membaca dengan cara duduk bersama dipangkuan ibunya lalu dibacakan buku cerita, setelah anak berusia 6-7 tahun ia sudah mulai bisa membaca sendiri,” ujar psikolog anak Ike R Sugianto, Psi saat dihubungi detikHealth, Selasa (8/2/2011).

Ike menuturkan yang harus dipahami adalah seberapa penting orangtua mengganggap kegiatan membaca bersama ini adalah sesuatu yang penting. Karena kebanyakan kini peran orangtua mengajak membaca anak digantikan oleh pengasuhnya.

“Kegiatan ini bukan hanya sekedar membuat anak senang membaca, tapi juga bisa menjalin keakraban dan kebersamaan (emotional bonding) dengan anak yang nantinya akan berpengaruh terhadap perilakunya seperti menjadi patuh dengan orangtua. Karenanya efek dari membaca akan berbeda jika yang membacakan buku adalah pengasuhnya,” ungkap psikolog yang menjadi pemilik dan berpraktek di Potentia Center Jakarta Barat.

Strategi lain adalah mendongengkan anak saat ia bermain karena akan memiliki efek yang lebih baik untuk anak berinteraksi.

Agar anak senang dan gemar membaca ada beberapa tips atau hal yang bisa dilakukan oleh orangtua yaitu:

1. Buatlah suasana kegiatan membaca yang menyenangkan dan mengasyikkan bagi anak, misalnya dengan memangku si kecil, membaca buku bersama-sama atau membaca sambil memeluk anak.

2. Pilihlah buku yang sesuai dengan usia anak, misalnya untuk anak-anak balita pilihlah buku dengan gambar yang besar, berwarna dan sedikit tulisan, sedangkan untuk bayi pilihlah buku yang terbuat dari kain.

3. Buku-buku yang dipilih sebaiknya melibatkan interaksi dengan anak sehingga anak lebih tertarik untuk membacanya dan tidak menjadi pasif atau hanya mendengarkan saja.

4. Waktu membacakan buku, orangtua sebaiknya membuat intonasi nada yang menarik, seru, heboh dan jangan yang datar-datar saja karena akan membuat anak menjadi cepat bosan.

5. Jangan memarahi anak jika ia memegang buku dan merusak atau merobeknya. Jika membelikan buku untuk balita atau bayi maka orangtua harus siap-siap bukunya menjadi robek, rusak atau diremas-remas. Tapi orangtua jangan memarahi si kecil karena akan membuat ia menjadi trauma dan tidak mau membaca lagi karena teringat peristiwa tersebut.

6. Orangtua juga harus senang membaca dan memberikan contoh pada anak-anaknya untuk membaca buku. Jika orangtua lebih senang menonton televisi maka anak-anak pun akan lebih memilih menonton televisi daripada membaca.

“Orangtua harus menjadi contoh yang baik bagi anak-anak, jika orangtua tidak senang membaca dan membiarkan televisi menyala 24 jam, maka jangan harap anaknya akan menjadi senang membaca,” ungkap psikolog lulusan UI ini.

sumber: DetikHealth

“TK itu taman bermain untuk merangsang kreativitas anak, bukan tempat belajar. Jadi jika ada guru TK yang memberikan tugas atau PR maka itu guru kurang kerjaan dan tak paham tugasnya,” kata Mendiknas M. NUH.

Oleh : Melly Latifah
Saat di layar televisi kita melihat berbagai tindak kekerasan, pelecehan seksual dan tindak kriminal lainnya yang terjadi baik dalam keluarga maupun di lingkungan lain, maka muncul pertanyaan di benak kita : ”Apa yang terjadi dengan bangsa kita ? Pertanyaan yang sama juga muncul ketika kita mengetahui berbagai tindak KKN di lingkungan pemerintahan, BUMN, atau perusahaan swasta yang merugikan keuangan negara dalam hitungan yang tidak terbayangkan. Bahkan ketika gaji kita dipotong tanpa alasan yang jelas atau kepangkatan kita tertunda hanya karena kurang komisi. Apa yang didengar, dilihat dan dialami oleh kita tersebut mengacu kepada satu hal, yaitu karakter.
Karakter dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangannya
Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas moral dan mental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang (encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Coon (1983) mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Sementara itu menurut Megawangi (2003), kualitas karakter meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan Arif; (4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong; (6) Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai dan kesatuan. Jadi, menurut Ratna Megawangi, orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter tersebut.
Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya.
Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius – seorang filsuf terkenal Cina – menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan – baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas – sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Jika sosialisasi dan pendidikan (faktor nurture) sangat penting dalam pendidikan karakter, maka sejak kapan sebaiknya hal itu dilakukan ? Menurut Thomas Lichona (Megawangi, 2003), pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson – yang terkenal dengan teori Psychososial Development – juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan berkembang secara perlahan tapi pasti (dalam Hurlock, 1981). Dengan kata lain, bila dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak di usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan. Selanjutnya, White (dalam Hurlock, 1981)menyatakan bahwa usia dua tahun pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi pembentukan pola penyesuaian personal dan sosial.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah – nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.
Pembinaan Karakter Anak yang Dilakukan oleh Keluarga
Pada dasarnya, tugas dasar perkembangan seorang anak adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja. Dengan kata lain, tugas utama seorang anak dalam perkembangannya adalah mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia ini. Sebagai contoh, anak harus belajar memahami bahwa setiap benda memiliki hukum tertentu (hukum-hukum fisika), seperti : benda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas atau ke samping (hukum gravitasi bumi); benda tidak hilang melainkan pindah tempat (hukum ketetapan obyek), dll. Selain itu, anak juga harus belajar memahami aturan main dalam hubungan kemasyarakatan, sehingga ada hukum dan sanksi yang mengatur perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Garbarino & Brofenbrenner (dalam Vasta, 1992), jika suatu bangsa ingin bertahan hidup, maka bangsa tersebut harus memiliki aturan-aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa yang benar, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang patut dan tidak patut. Oleh karena itu, perlu ada etika dalam bicara, aturan dalam berlalu lintas, dan aturan-aturan sosial lainnya. Jika tidak, hidup ini akan ”semrawut” karena setiap orang boleh berlaku sesuai keinginannya masing-masing tanpa harus mempedulikan orang lain. Akhirnya antar sesama menjadi saling menjegal, saling menyakiti, bahkan saling membunuh, sehingga hancurlah bangsa itu.
Memahami ”aturan main” dalam kehidupan dunia dan menginternalisasikan dalam dirinya sehingga mampu mengaplikasikan ”aturan main” tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya merupakan tugas setiap anak dalam perkembangannya. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, antri, tidak menyeberang jalan dan parkir sembarangan, tidak merugikan atau menyakiti orang lain, mandiri (tidak memerlukan supervisi) serta perilaku-perilaku lain – yang menunjukkan adanya pemahaman yang baik terhadap aturan sosial – merupakan hasil dari perkembangan kualitas moral dan mental seseorang yang disebut karakter.
Tentu saja kebiasaan baik atau buruk pada diri seseorang – yang mengindikasikan kualitas karakter ini – tidak terjadi dengan sendirinya. Telah disebutkan bahwa selain faktor nature, faktor nurture juga berpengaruh. Dengan kata lain, proses sosialisasi atau pendidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan penting, bahkan mungkin lebih penting, dalam pembentukan karakter seseorang.
Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak – keluarga, sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya – turut andil dalam perkembangan karakter anak. Dengan kata lain, mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak. Tentu saja hal ini tidak mudah, oleh karena itu diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa pendidikan karakter merupakan ”PR” yang sangat penting untuk dilakukan segera. Terlebih melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan serta kenyataan bahwa manusia tidak secara alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik, sebab menurut Aristoteles (dalam Megawangi, 2003), hal itu merupakan hasil dari usaha seumur hidup individu dan masyarakat.
a. Keluarga sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter Anak
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat – seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat – merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”.
Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
b. Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak
Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi (2003), ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental.
Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby (dalam Megawangi, 2003), normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal.
Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
c. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak.
Secara umum, Baumrind mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh Authoritarian, (2) Pola asuh Authoritative, (3) Pola asuh permissive. Tiga jenis pola asuh Baumrind ini hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock juga Hardy & Heyes yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh permisif.
Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut :
  • Pola asuh otoriter mempunyai ciri : Kekuasaan orangtua domina; Anak tidak diakui sebagai pribadi; Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat; Orangtua menghukum anak jika anak tidak patuh.
  • Pola asuh demokratis mempunyai ciri :Ada kerjasama antara orangtua – anak; Anak diakui sebagai pribadi; Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.
  • Pola asuh permisif mempunyai ciri : Dominasi pada anak; Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua; Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang.
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.
Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua – anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak.
Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah. Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan.
Menurut Middlebrook (dalam Badingah, 1993), hukuman fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak karena : (a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak cocok untuk belajar); (b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang mendorong tingkah laku agresif; (c) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada; (d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi anak.
Hasil penelitian Rohner (dalam Megawangi, 2003) menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya (karakter atau kecerdasan emosinya). Penelitian tersebut – yang menggunakan teori PAR (Parental Acceptance-Rejection Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acceptance) atau yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak yang diberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik secara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun secara fisik (memukul, mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga bersifat indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak mepedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat undifferentiated rejection, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan diterima oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.
Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
  1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
  2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
  3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
  4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
  5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
  6. Tidak menanamkan “good character’ kepada anak.
Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah.
  1. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.
  2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
  3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
  4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
  5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
  6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
  7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
  8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada “peer group”nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
Penutup
Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah – nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.
Meskipun semua pihak bertanggung jawab atas pendidikan karakter calon generasi penerus bangsa (anak-anak), namun keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Untuk membentuk karakter anak keluarga harus memenuhi tiga syarat dasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Selain itu, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya juga menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak di rumah. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.
Kegagalan keluarga dalam melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, akan mempersulit institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) dalam upaya memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak-anak mereka dalam keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Badingah, S. (1993). Agresivitas Remaja Kaitannya dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran Menonoton Film Keras. Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok.
  2. Coon, Dennis. (1983). Introduction to Psychology : Exploration and Aplication. West Publishing Co.
  3. http://encyclopedia.thefreedictionary.com. Diakses tanggal 26 April 2004.
  4. Hurlock, E.B. 1981. Child Development. Sixth Edition. McGraw Hill Kogakusha International Student.
  5. Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation.
  6. Vasta, Ross, at all. (1992). Child Psychology : The Modern Science. John Wiley & Sons Inc.

Keluarga menjadi komunitas yang sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Minat dan kemampuan anak dibentuk dari keluarga di mana dia dibesarkan. Salah satu minat dan kemampuan yang bisa ditumbuhkan dalam diri anak lewat keluarga ialah membaca. Berikut ini resep bagi orang tua dalam keluarga Kristen guna menumbuhkan minat baca anak.

  1. Bacakan buku sejak anak lahir
  2. Sebaiknya, anak dikenalkan dengan buku sedini mungkin, sejak anak masih bayi, bahkan ketika masih di dalam kandungan. Berdasarkan hasil penelitian, bayi yang terbiasa diajak berkomunikasi dan dibacakan cerita (bahkan sejak di dalam kandungan) akan mempunyai kemampuan bahasa yang lebih tinggi dibandingkan bayi yang hanya didiamkan saja. Jadi, untuk mengenalkan buku pada anak, jangan tunggu sampai anak bisa membaca sendiri.

  3. Dorong anak bercerita tentang apa yang telah didengar atau dibacanya
  4. Anak sangat suka ketika diajak untuk mendiskusikan apa yang baru saja mereka baca atau kita ceritakan. Untuk mendorong anak Anda menceritakan kembali apa yang sudah dibacanya, Anda bisa mengajukan sejumlah pertanyaan dari apa yang telah dibaca. Selain itu, gunakan cara-cara kreatif, misalnya kalau kita sudah membacakan suatu buku, minta anak untuk gantian bercerita. Kalau dia tidak mau, gunakan ide lain, misalnya dengan merekam suaranya ketika bercerita. Hal tersebut akan membuat anak bersemangat.

  5. Ajak anak ke toko buku/perpustakaan
  6. Jadikan toko buku sebagai tempat singgah yang menyenangkan bagi anak dengan membiasakan mereka untuk mengunjunginya. Berikan kepercayaan pada mereka untuk memilih sendiri buku yang mereka minati, namun tetap dalam batasan-batasan seleksi orang tua. Tanamkan juga sikap selektif dalam memilih buku kepada anak. Selain toko buku, dorong pula anak Anda untuk rajin mengunjungi perpustakaan-perpustakaan yang bisa mereka akses, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum.

  7. Beli buku yang menarik minat anak
  8. Dalih ingin memberikan buku yang bermutu bagi anak jangan dipakai sebagai paksaan anak untuk membaca buku yang tidak mereka sukai. Orang tua harus peka dengan minat anak dan memfasilitasinya dengan buku yang sesuai minat mereka supaya minat baca mereka berkembang, asalkan buku tersebut masih masuk dalam kategori buku bermutu menurut orang tua. Agar wawasan anak berkembang, tidak terpaku pada minat bacanya terhadap buku-buku tertentu, belilah dua buku, satu buku pilihan anak dan satunya tambahan pilihan Anda bagi anak.

  9. Sisihkan uang untuk membeli buku
  10. Sediakan anggaran khusus untuk membeli buku. Jadikan buku sebagai kebutuhan yang penting bagi anak daripada membelikan anak macam-macam mainan yang manfaatnya masih dapat dipertanyakan. Apalagi buku merupakan harta yang tidak ternilai jika anak mau membacanya. Apa yang terkandung dalam sebuah buku akan menjadi investasi di kepala anak.

  11. Nonton filmnya dan beli bukunya
  12. Menurut Prof. Yohanes Surya, seorang fisikawan Indonesia, anak-anak akan sangat antusias jika mereka bisa membaca buku-buku dari tokoh film yang sudah mereka kenal atau tonton filmnya. Jadi, Anda bisa mengajak anak Anda menonton filmnya dulu, baru kemudian memberikan bukunya kepada anak untuk dibaca atau sebaliknya.

  13. Ciptakan perpustakaan keluarga
  14. Jika memungkinkan, buatlah perpustakaan keluarga di rumah. Tidak harus mewah dan lengkap, mulailah dari yang sederhana dulu. Kumpulkan buku anak dalam satu lemari khusus yang mudah mereka akses — tidak terlalu tinggi, tersembunyi, apalagi terkunci. Selain perpustakaan keluarga, taruhlah buku-buku di tempat yang biasa digunakan anak misalnya di ruang tidur, ruang tamu, ruang main, teras, mobil, bahkan di toilet kering kalau Anda memilikinya.

  15. Tukar buku dengan teman
  16. Semakin banyak koleksi buku yang dimiliki anak semakin baik. Namun, jika hal tersebut terhambat oleh terbatasnya dana yang ada, Anda bisa menyiasatinya dengan saling menukar buku dengan temannya. Atau jika Anda, sebagai orang tua, mempunyai teman yang juga mempunyai anak seusia dengan anak Anda sampaikan ide untuk saling meminjamkan koleksi buku dengan catatan masing-masing pihak menjaga kebersihan dan keutuhan buku. Hal ini bisa menghemat sekaligus memperluas wawasan anak dengan banyak buku yang sudah dibacanya.

  17. Hilangkan penghambat seperti TV atau Playstation
  18. Menonton televisi atau main playstasion yang pada umumnya disukai anak bukanlah hobi yang harus dilarang, tapi sebaiknya dibatasi. Supaya waktu anak bisa dialokasikan untuk membaca buku. Orang tua dianjurkan untuk mengendalikan pemakaian televisi oleh anak-anak mengingat tayangan-tayangan yang sering kali tidak sesuai untuk kosumsi anak.

  19. Beri hadiah (reward) yang memperbesar semangat membaca
  20. Anak akan sangat bersemangat jika diberi penghargaan/hadiah. Pakailah cara itu untuk merangsang minat baca anak. Penghargaan bisa bersifat materi dan nonmateri. Jika anak bisa menyelesaikan pembacaan sebuah buku dan bisa menceritakan ulang dengan benar, berikan kata-kata yang positif yang akan membangun rasa percaya diri anak dalam membaca sehingga anak akan menyukai kegiatan membaca. Jika anak membuat kesalahan dalam membaca, jangan langsung dikritik. Tapi arahkan dengan sabar. Anda juga bisa memberi penghargaan dengan memberikan hadiah-hadiah kecil yang membuat anak antusias. Sistem hadiah ini bisa Anda ciptakan sesuai kreativitas dan kemampuan Anda. Yang terpenting, ketika anak membaca jangan hanya untuk mengejar reward tapi karena mereka benar-benar menyukai dan mengetahui pentingnya membaca.

  21. Jadikan buku sebagai hadiah (reward) untuk anak
  22. Pilihlah buku sebagai hadiah untuk anak jika ada acara-acara penting, seperti ulang tahun, kenaikan kelas, dll. Jadikan buku sebagai barang berharga yang dinanti-nantikan oleh anak. Jika anak sudah mencintai buku, hadiah buku akan menjadi hadiah yang menyenangkan hatinya.

  23. Jadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan setiap hari
  24. Kegiatan membaca setiap hari akan menumbuhkan minat baca anak sekaligus membentuk kebiasaan membaca pada anak. Kalau Anda orang tua yang sibuk, lima atau sepuluh menit setiap harinya untuk membacakan cerita kepada anak Anda akan sangat bermanfaat. Jika anak Anda sudah bisa membaca sendiri, Anda tinggal menemaninya membaca sambil Anda juga membaca buku favorit Anda.

  25. Dramatisasi buku yang Anda baca
  26. Ubahlah cara baca Anda ketika anak Anda kurang atau tidak tertarik dengan buku yang Anda bacakan untuknya. Tambahkan kosakata dan kalimat yang menarik dan dramatisasilah cerita yang sedang Anda bacakan, caranya dengan gerakan-gerakan tubuh, mimik muka dan intonasi suara. Anak-anak akan tertarik.

  27. Buatlah buku sendiri
    • Buku biografi anak.
    • Tempelkan foto anak, misalnya foto ketika masih bayi, rumah sakit tempat lahir, anak ketika bisa berjalan, mainan favoritnya, dll. Tambahkan kata-kata sederhana yang mengomentari setiap foto. Anak akan bangga dengan buku yang mengisahkan dirinya tersebut.

    • Buku tentang diri Anda.
    • Seperti buku di atas, tetapi berisi kisah Anda dan pasangan Anda sebagai orang tua. Buku tentang diri Anda bisa digunakan sebagai sumber bacaan yang bagus untuk mengajarkan proses pertumbuhan, siklus kehidupan, konsep baik dan buruk, nilai moral, etika, adat istiadat dalam keluarga, dan lain sebagainya.

    • Buku cerita yang Anda gambar sendiri.
    • Karanglah buku cerita yang Anda hias atau gambar sendiri. Meski sederhana dan kurang indah, namun buku seperti ini akan menarik minat anak karena anak tahu kalau orang tuanya yang membuatkan buku itu khusus untuknya. Hal ini juga membuat Anda lebih fleksibel dalam memenuhi kebutuhan buku untuk anak karena Anda bisa menentukan sendiri tema yang disukai anak.

    • Anak membuat sendiri bukunya.
    • Membuat buku sendiri bisa menjadi salah satu kegiatan untuk mengisi waktu luang anak. Meski anak belum bisa menulis, minta mereka untuk membuat gambarnya, minta mereka menceritakan gambarnya dan Anda yang menuliskan di buku tersebut. Jika mereka sudah bisa menulis, minta mereka untuk membuat gambar dan menuliskan sendiri ceritanya. Anak akan menyukai kegiatan ini. Anak juga mempunyai kesempatan untuk berkarya dan mengembangkan imanjinasinya.

  28. Anak akan sangat senang jika mereka atau Anda membuatkan buku untuk mereka sendiri. Anda bisa membuat buku untuk anak seperti:

  29. Jadilah teladan
  30. Teladan orang tua lebih berdampak daripada kata-kata. Biarkan anak melihat Anda membaca. Jika hal tersebut sering dia lihat mereka menjadi terbiasa dengan kegiatan membaca tersebut. Jika Anda mengetahui membaca itu penting, namun kita tidak menyukainya, upayakan agar minat baca Anda meningkat.